Senin, 30 Januari 2012

Pariwisata dan Sinisme itu

BUKAN sekali dua kali saya mendapat pertanyaan sinis dan retorik dari para pengamat. Beberapa kali pula muncul pertanyaan sama di media masa, yang intinya mempertanyakan manfaat pariwisata bagi Bali.  Beberapa pengamat sampai pada suatu pendapat, bahwa sudah saatnya Bali memikirkan untuk meninggalkan pariwisata.  Karena, menurut mereka, pariwisata terbukti tidak mampu menyejahterakan rakyat Bali.  Walaupun pariwisata maju, tetap saja di Bali ada kemiskinan.

Walaupun dolar berlimpah, tetap saja ada warga Bali yang kelaparan.  Tetap saja banyak pengangguran.  Tetap saja banyak anak putus sekolah. Dan seterusnya, dan seterusnya.  Pertanyaan dan pernyataan seperti ini selalu  berulang,  setiap ada rencana pembangunan prasarana yang akan bermanfaat mendukung pariwisata. Walaupun, semua orang tahu, bahwa berbagai prasarana tersebut tidak khusus dibangun untuk pariwisata, karena masyarakat Bali sendiri juga akan memanfaatkannya.  Bahkan lebih dari pariwisata.

Sebenarnya saya tidak mood mengomentari komentar para pengamat. Saya ingat, sekali waktu saya dinasehati oleh Prof Dr Arief Rachman, tokoh demonstran angkatan 66, yang sekarang menjadi ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO.  Katanya, kalau yang bicara itu ‘pakar’ atau ‘ahli’ dalam bidangnya, maka kita harus memperhatikan dan menindaklanjuti.  Pastilah apa yang disampaikannya sudah berdasarkan data, fakta, analisis, interpretasi, dan dasar-dasar teori yang memadai.  Tetapi kalau ‘pengamat’ yang berkomentar, sebaiknya kita tidak terlalu banyak menghabiskan energy untuk memikirkannya.  Cukup didengarkan saja.  Cukup diketahui, bahwa ada orang yang berpendapat seperti itu. Apalagi dalam era sekarang ini, banyak bermunculan “pengamat serba bisa”, “pengamat segala rupa” atau, dalam bahasa Bali, mungkin dapat disebut sebagai “pengamat dagang ceraki”.  Mereka bisa menjadi pengamat apa saja.  Kemarin menjadi pengamat transportasi.  Kemarinnya lagi dia adalah pengamat pilkada.  Hari ini sebagai pengamat harga cabai keriting. Di lain waktu menjadi pengamat pariwisata, pengamat pendidikan, sekaligus pengamat spiritual. Besok, entah menjadi pengamat apa lagi.

Tetapi, sebagai orang yang belajar pariwisata, saya mempunyai kewajiban untuk ikut menyampaikan fakta dan kebenaran, tanpa harus mengajari. Maka, dalam berbagai kesempatan, saya juga menggugah teman bicara untuk berfikir kritis, walaupun secara sederhana, terhadap usulan beberapa orang agar Bali meninggalkan pariwisata.  Ketika ngerumpi dengan warga sambil matulung dalam acara adat-keagamaan di banjar, saat ngobrol dengan para pemangku sebelum persembahyangan di pura dimulai, manakala duduk-duduk di warung kopi, dalam berbagai kesempatan santai dan informal, dalam chatting di milist (yahoo group) atau FB, saya kerap memposting pertanyaan untuk direnungkan.  Dalam percakapan sejenis itu, tentu saya tidak mau berteori tingi-tinggi atau mengajukan data statistic, sebagaimana biasa saya lakukan kalau memberikan seminar atau  memberi kuliah S3.

Sederhana saja. Kepada mereka yang pernah ke luar daerah, saya mengajak untuk membandingkan. Mana lebih sejahtera (paling tidak dari indicator ekonomi, karena kesejahteraan batin tentu saja sulit diobservasi) masyarakat di Bali, atau di provinsi lain, misalnya saja NTT atau NTB?  Kalau mereka setuju bahwa Bali lebih baik, maka pertanyaan dilanjutkan: apa itu karena pariwisata, atau sector lain? Atau, bagi mereka yang belum pernah ke luar Bali, pertanyaan seirama saya tanyakan: Mana lebih sejahtera, warga Kabupaten Badung atau kabupaten lainnya di Bali, katakanlah misalnya Karangasem, Bangli, atau Buleleng? Desa Pakraman di mana yang lebih banyak mendapatkan bantuan pemkab, yang di Badung atau di kabupaten lainnya? Mana lebih bagus prasarana pedesaan untuk rakyat, yang di Badung atau di kabupaten lainnya?  Kalau jawabnya Badung, maka perlu ditanyakan lanjutannya: apakah itu karena kemajuan sector A, B, C, D, ataukah karena pariwisata?

Ternyata, paling tidak sampai saat ini, saya belum pernah bertemu dengan teman bicara yang tidak memberikan jawaban afirmatif.  Artinya, mereka setuju bahwa sector pariwisata sudah berperan besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Perbaikan infrastruktur pedesaan,  pembinaan lembaga adat-keagamaan, pembinaan kesenian/kebudayaan, pengembangan sumderdaya insani, dan sebagainya, mendapatkan kontribusi besar dari pariwisata.

Bahwa Pariwisata tidak mampu menyelesaikan semua masalah, pasti ya. Sama juga halnya, tidak ada satu sector apapun dalam pembangunan ini yang mampu menuntaskan semua masalah.  Artinya, kurang bijak kalau setiap permasalahan yang ada ditudingkan kepada pariwisata. Logika sederhananya, kalau semua permasalahan bisa ditangani oleh satu sector, tentu sector lain tidak perlu ada. Dan ini tentu merupakan suatu kemustahilan.

Dengan pemahaman sederhana seperti ini, mudah-mudahan tidak banyak lagi pengamat yang meminta agar Bali berhenti membangun pariwisata (sementara banyak Negara dan daerah lain berlomba-lomba memacu pembangunan pariwisatanya).  Lebih jauh, semoga difahami bahwa berbagai prasarana yang ada (atau akan dibangun) tidak semata-mata diperuntukkan pariwisata, melainkan juga untuk masyarakat warga Bali.  Maka, semoga tidak semua pembangunan sarana dan prasarana yang akan memajukan pariwisata selalu ditanggapi dengan kata-kata pemutus yang singkat: Tolak! Tidak! Jangan! Hentikan! Stop!

Saatnya kita berfikir jernih.  Kritis. Termasuk kritis kepada mereka yang kritis.
(I Gde Pitana Brahmananda)

1 komentar: