Senin, 30 Januari 2012

Rahasia Pis Bolong


Cahaya Wirawan Hadi
Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Bali

Sebagai orang Tionghoa yang tinggal di Bali, sejak lama saya penasaran untuk mengetahui, mengapa pis bolong digunakan dalam berbagai upacara disini. Saya tanya teman-teman yang asli Bali dan beragama Hindu ternyata banyak juga diantara mereka yang tidak tahu. Sampai akhirnya saya mendapat penjelasan dari Tjokorda Anom dari Klungkung yang sedikit membuka rahasia.

Pis bolong konon muncul dari kisah cinta Raja Jayapangus dan putri Kang Cing Wie. Ketika sang Raja hendak meminang sang putri , salah satu ritual yang harus dilakukan adalah memberikan penghormatan kepada orang tua sang putri.  Saat itu untuk perjalanan dari Bali  ke China dengan menggunakan perahu setidaknya adalah selama 6 bulan. Untuk menggantikannya, Raja kemudian menjadikan  uang Cina saat itu sebagai sarana penghormatan.
Dari kisah Kang Cing Wie, ada tradisi lain yang diwariskan. Yakni upacara memotong gigi. Konon sebelum raja Jayapangus akan menikah, para penasehat istana merasa kurang elok melihat wajah raja yang  berhiaskan dengan gigi taring. Karena itu, gigi kemudian dirapikan dengan meratakannya.
Saya tidak tahu kebenaran cerita ini. Tapi pesan  yang tersirat adalah, hubungan antara warga Tionghoa dengan warga Bali sudah sedemikian eratnya. Bahkan ada sebutan Nyama Kelihan atau saudara yang lebih tua untuk warga keturunan. Apalagi orang seperti saya yang kulitnya saja lebih dekat ke warna coklat. Nenek buyut saya pun dibesarkan di Puri Karangasem.
Kedekatan ini yang ingin kita  pertahankan sampai anak cucu hingga buyut sekali pun. Karena itu melalui organisasi INTI Bali, kami melakukan berbagai aksi sosial untuk ikut menolong masyarakat Bali yang masih mengalami kesulitan hidup. Kalau sudah di INTI, kami tidak lagi memandang bos atau anak buah. Semua bekerja bersama-sama.
Situasi sekarang ini jauh lebih memungkinkan. Di masa lalu, warga Tionghoa harus menyembunyikan identitas adat dan budayanya. Setelah tragedi 1965, banyak sekali pembatasan sehingga untuk merayakan Imlek saja tidak diperbolehkan. Kami tidak boleh belajar bahasa Tionghoa dan menampilkan tari Barongsai. Saat itu Kongco  bahkan harus ditutup. Kalau rusak tidak boleh diperbaiki. Untuk menjaganya banyak yang dialihkan menjadi vihara Budha
Sejak Gus Dur dan kemudian dipertegas oleh Ibu Megawati, perayaan Imlek sudah menjadi agenda bangsa dan ditetapkan jadi hari libur nasional.  Ini sebenarnya wajar saja karena di Indonesia, jumlah warga Tionghoa mungkin sudah mencapai sekitar 15 juta orang.  Saat ini menjadi saat yang tepat untuk menegaskan kebersamaan dalam kebhinekaan. ran



Tidak ada komentar:

Posting Komentar