Cahaya Wirawan Hadi
Sebagai orang Tionghoa yang tinggal di Bali, sejak lama saya
penasaran untuk mengetahui, mengapa pis
bolong digunakan dalam berbagai upacara disini. Saya tanya teman-teman yang
asli Bali dan beragama Hindu ternyata banyak juga diantara mereka yang tidak
tahu. Sampai akhirnya saya mendapat penjelasan dari Tjokorda Anom dari
Klungkung yang sedikit membuka rahasia.
Pis bolong konon muncul dari kisah cinta Raja Jayapangus dan
putri Kang Cing Wie. Ketika sang Raja hendak meminang sang putri , salah satu
ritual yang harus dilakukan adalah memberikan penghormatan kepada orang tua
sang putri. Saat itu untuk perjalanan
dari Bali ke China dengan menggunakan
perahu setidaknya adalah selama 6 bulan. Untuk menggantikannya, Raja kemudian
menjadikan uang Cina saat itu sebagai
sarana penghormatan.
Dari kisah Kang Cing Wie, ada tradisi lain yang diwariskan.
Yakni upacara memotong gigi. Konon sebelum raja Jayapangus akan menikah, para
penasehat istana merasa kurang elok melihat wajah raja yang berhiaskan dengan gigi taring. Karena itu,
gigi kemudian dirapikan dengan meratakannya.
Saya tidak tahu kebenaran cerita ini. Tapi pesan yang tersirat adalah, hubungan antara warga Tionghoa
dengan warga Bali sudah sedemikian eratnya. Bahkan ada sebutan Nyama Kelihan atau saudara yang lebih
tua untuk warga keturunan. Apalagi orang seperti saya yang kulitnya saja lebih
dekat ke warna coklat. Nenek buyut saya pun dibesarkan di Puri Karangasem.
Kedekatan ini yang ingin kita pertahankan sampai anak cucu hingga buyut
sekali pun. Karena itu melalui organisasi INTI Bali, kami melakukan berbagai
aksi sosial untuk ikut menolong masyarakat Bali yang masih mengalami kesulitan
hidup. Kalau sudah di INTI, kami tidak lagi memandang bos atau anak buah. Semua
bekerja bersama-sama.
Situasi sekarang ini jauh lebih memungkinkan. Di masa lalu,
warga Tionghoa harus menyembunyikan identitas adat dan budayanya. Setelah
tragedi 1965, banyak sekali pembatasan sehingga untuk merayakan Imlek saja
tidak diperbolehkan. Kami tidak boleh belajar bahasa Tionghoa dan menampilkan
tari Barongsai. Saat itu Kongco bahkan
harus ditutup. Kalau rusak tidak boleh diperbaiki. Untuk menjaganya banyak yang
dialihkan menjadi vihara Budha
Sejak Gus Dur dan kemudian dipertegas oleh Ibu Megawati,
perayaan Imlek sudah menjadi agenda bangsa dan ditetapkan jadi hari libur
nasional. Ini sebenarnya wajar saja
karena di Indonesia, jumlah warga Tionghoa mungkin sudah mencapai sekitar 15 juta
orang. Saat ini menjadi saat yang tepat
untuk menegaskan kebersamaan dalam kebhinekaan. ran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar