Beberapa tahun lalu, sebagai penyair saya diundang mengikuti “tour
sastra” oleh winternachten festival (sekarang writers unlimited),
Belanda ke Suriname bersama beberapa penulis dari negara lain. Di
Suriname mitra dari winternachten saat itu adaah kelompok penulis SS76.
Dari Denpasar, saya menuju Amsterdam dan menginap di sana, sebelum
kemudian dari sana terbang menuju Pramaribo, ibu kopta Suriname.
Suriname, negeri Tropis yang berbatasan dengan Guyana Perancis, Guyana
Inggris dan Brasil, dengan penduduk sekitar 400 ribu di mana separuhnya
tinggal di Paramaribo.
Keesokan harinya, agenda kami adalah
“City tour” di dampi9ngi seorang pemandu wisata serta seorang penulis
yang juga jurnalis dari kelompok SS76. Tour tersebut adalah berjalan
kaki menyusuri jalanan Paramaribo. Sepanjang, tour tsb, sang emandu
bercerita tentang hal-hal yang dianggapnya penting, seperti menjelaskan
tentang pohon Tamarin (pohon Asam). Terlintas dipikiran saya, rupanya
Belanda yang pernah menjajah Suriname, juga kita, gemar menanam pohon
Asam, seperti sebagian di antaranya masih dapat dilihat di ruas jalan
Gajahmada Denpasar.
Kami juga diajak ke rumah seorang tokoh
Suriname, rumah kayu seperti mayoritas bangunan di Paramaribo. Bahkan
hotel temmpat kami menginap pun, the Echo, mayoritas berbahan kayu.
Bahan kayu memang tepat untuk Suriname yang beriklim Tropis. Ini
menginagtkan saya pada banyak bangunan lama di Denpasar yang juga
menggunakan bahan kayu secara cukup signifikan.
Ketika
melitas di dekat “perkampungan” orang Lebanon, si pemandu mengatakan
orang Lebanon di “perkampungan itu” beragama Roma Katolik, saya
teringat, di negara asalnya jika mereka Nasrani, umumnya Kristen Maronit
seperti Sastrawan terkenal Kahlil Gibran, bukan Roma Katolik. Bersama
dengan warga India, Tionghoa(umumnya dari suku Hakka), Kulit Hitam, Jawa
dan Indian, mereka hidup harmonis. Bahkan umat Islam di sana, di
“kampun Jawa” tidak bertikai karena kiblat uyang berbeda, ada yang ke
timur ada yang ke barat (Yang ke barat mungkin meneruskan tradisi
moyangnya di Jawa, sementara yang ke timur, tampaknya berdasarkan letak
geografis Suriname). Jika ada sedikit benturan, terjadinya hanya pada
saat pemilu. Tapi setelahnya rukun lagi. Rupanya urusan kekuasaan,
memang bisa membawa perselisihan, seperti juga di negeri kita.
Yang juga menarik perhatian adalah jumlah Casino di Paramaribo yang
relative banyak, sekitar 20 Casino. Konon (ini tentu bukian dari si
pemandu wisata dan Jurnalis tadi), Casino yang banyak itu adalah tempat
untuk “mencuci uang”. Di Suriname, pengangguran tinggi, secara statistik
(namun umumnya penduduknya punyab uang), karena sebagian dari mereka
tak mungkin mencantumkan pekerjaannya, yang secara Yuridis formal
illegal, sebab menyangkut perdagangan narkoba. Ini sebabnya perlu tempat
cuci uang.
Akhirnya kamin tiba di sebuah toko oleh-oleh,
yaiytu toko peralatan Voodoo. Ada peti mati kecil, guna-guna, boneka
voodoo…, serta jimat untuk menang berjudi di Casino. Mendengar dan
melihat jimat tersebut saya berbisik ke rekan penulis dari kelompok SS76
yang mendampingi kami : “Jika benar jimat untuk menang berjudi di casino
itu bertuah, mestinya si pemilik toko tak usah repot-repot berjualan
alat voodoo. Cukup berbekal jimat itu (dan sejumlah uang tentunya) dia
bisa kaya dengan berjudi di casino yang tersebar di Paramaribo, bukan?” .
Sontak saat itu saya teringat banyak teman yang juga masih percaya pada
hal-hal semacam itu. (Tan Lioe Ie, penyair-pemusik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar