Senin, 30 Januari 2012

Voodoo dan Bali

Beberapa tahun lalu, sebagai penyair saya diundang mengikuti “tour sastra” oleh winternachten festival (sekarang writers unlimited), Belanda ke Suriname bersama beberapa penulis dari negara lain. Di Suriname mitra dari winternachten saat itu adaah kelompok penulis SS76.
      Dari Denpasar, saya menuju Amsterdam dan menginap di sana, sebelum kemudian dari sana terbang menuju Pramaribo, ibu kopta Suriname. Suriname, negeri Tropis yang berbatasan dengan Guyana Perancis, Guyana Inggris dan Brasil, dengan penduduk sekitar 400 ribu di mana separuhnya tinggal di Paramaribo.

      Keesokan harinya, agenda kami adalah “City tour” di dampi9ngi seorang pemandu wisata serta seorang penulis yang juga jurnalis dari kelompok SS76. Tour tersebut adalah berjalan kaki menyusuri jalanan Paramaribo. Sepanjang, tour tsb, sang emandu bercerita tentang hal-hal yang dianggapnya penting, seperti menjelaskan tentang pohon Tamarin (pohon Asam). Terlintas dipikiran saya, rupanya Belanda yang pernah menjajah Suriname, juga kita, gemar menanam pohon Asam, seperti sebagian di antaranya masih dapat dilihat di ruas jalan Gajahmada Denpasar.
       Kami juga diajak ke rumah seorang tokoh Suriname, rumah kayu seperti mayoritas bangunan di Paramaribo. Bahkan hotel temmpat kami menginap pun, the Echo, mayoritas berbahan kayu. Bahan kayu memang tepat untuk Suriname yang beriklim Tropis. Ini menginagtkan saya pada banyak bangunan lama di Denpasar yang juga menggunakan bahan kayu secara cukup signifikan.
       Ketika melitas di dekat “perkampungan” orang Lebanon, si pemandu mengatakan orang Lebanon di “perkampungan itu” beragama Roma Katolik, saya teringat, di negara asalnya jika mereka Nasrani, umumnya Kristen Maronit seperti Sastrawan terkenal Kahlil Gibran, bukan Roma Katolik. Bersama dengan warga India, Tionghoa(umumnya dari suku Hakka), Kulit Hitam, Jawa dan Indian, mereka hidup harmonis. Bahkan umat Islam di sana, di “kampun Jawa” tidak bertikai karena kiblat uyang berbeda, ada yang ke timur ada yang ke barat (Yang ke barat mungkin meneruskan tradisi moyangnya di Jawa, sementara yang ke timur, tampaknya berdasarkan letak geografis Suriname). Jika ada sedikit benturan, terjadinya hanya pada saat pemilu. Tapi setelahnya rukun lagi. Rupanya urusan kekuasaan, memang bisa membawa perselisihan, seperti juga di negeri kita.
       Yang juga menarik perhatian adalah jumlah Casino di Paramaribo yang relative banyak, sekitar 20 Casino. Konon (ini tentu bukian dari si pemandu wisata dan Jurnalis tadi), Casino yang banyak itu adalah tempat untuk “mencuci uang”. Di Suriname, pengangguran tinggi, secara statistik (namun umumnya penduduknya punyab uang), karena sebagian dari mereka tak mungkin mencantumkan pekerjaannya, yang secara Yuridis formal illegal, sebab menyangkut perdagangan narkoba. Ini sebabnya perlu tempat cuci uang.
         Akhirnya kamin tiba di sebuah toko oleh-oleh, yaiytu toko peralatan Voodoo. Ada peti mati kecil, guna-guna, boneka voodoo…, serta jimat untuk menang berjudi di Casino. Mendengar dan melihat jimat tersebut saya berbisik ke rekan penulis dari kelompok SS76 yang mendampingi kami : “Jika benar jimat untuk menang berjudi di casino itu bertuah, mestinya si pemilik toko tak usah repot-repot berjualan alat voodoo. Cukup berbekal jimat itu (dan sejumlah uang tentunya) dia bisa kaya dengan berjudi di casino yang tersebar di Paramaribo, bukan?” . Sontak saat itu saya teringat banyak teman yang juga masih percaya pada hal-hal semacam itu. (Tan Lioe Ie, penyair-pemusik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar