Walaupun dolar berlimpah, tetap saja ada warga Bali yang kelaparan. Tetap saja banyak pengangguran. Tetap saja banyak anak putus sekolah. Dan seterusnya, dan seterusnya. Pertanyaan dan pernyataan seperti ini selalu berulang, setiap ada rencana pembangunan prasarana yang akan bermanfaat mendukung pariwisata. Walaupun, semua orang tahu, bahwa berbagai prasarana tersebut tidak khusus dibangun untuk pariwisata, karena masyarakat Bali sendiri juga akan memanfaatkannya. Bahkan lebih dari pariwisata.
Sebenarnya
saya tidak mood mengomentari komentar para pengamat. Saya ingat, sekali waktu
saya dinasehati oleh Prof Dr Arief Rachman, tokoh demonstran angkatan 66, yang
sekarang menjadi ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO. Katanya, kalau yang bicara itu ‘pakar’ atau
‘ahli’ dalam bidangnya, maka kita harus memperhatikan dan menindaklanjuti. Pastilah apa yang disampaikannya sudah
berdasarkan data, fakta, analisis, interpretasi, dan dasar-dasar teori yang
memadai. Tetapi kalau ‘pengamat’ yang
berkomentar, sebaiknya kita tidak terlalu banyak menghabiskan energy untuk
memikirkannya. Cukup didengarkan
saja. Cukup diketahui, bahwa ada orang
yang berpendapat seperti itu. Apalagi dalam era sekarang ini, banyak
bermunculan “pengamat serba bisa”, “pengamat segala rupa” atau, dalam bahasa
Bali, mungkin dapat disebut sebagai “pengamat dagang ceraki”. Mereka bisa menjadi pengamat apa saja. Kemarin menjadi pengamat transportasi. Kemarinnya lagi dia adalah pengamat
pilkada. Hari ini sebagai pengamat harga
cabai keriting. Di lain waktu menjadi pengamat pariwisata, pengamat pendidikan,
sekaligus pengamat spiritual. Besok, entah menjadi pengamat apa lagi.
Tetapi,
sebagai orang yang belajar pariwisata, saya mempunyai kewajiban untuk ikut
menyampaikan fakta dan kebenaran, tanpa harus mengajari. Maka, dalam berbagai
kesempatan, saya juga menggugah teman bicara untuk berfikir kritis, walaupun
secara sederhana, terhadap usulan beberapa orang agar Bali meninggalkan
pariwisata. Ketika ngerumpi dengan warga
sambil matulung dalam acara adat-keagamaan di banjar, saat ngobrol dengan para
pemangku sebelum persembahyangan di pura dimulai, manakala duduk-duduk di warung
kopi, dalam berbagai kesempatan santai dan informal, dalam chatting di milist
(yahoo group) atau FB, saya kerap memposting pertanyaan untuk direnungkan. Dalam percakapan sejenis itu, tentu saya
tidak mau berteori tingi-tinggi atau mengajukan data statistic, sebagaimana
biasa saya lakukan kalau memberikan seminar atau memberi kuliah S3.
Sederhana
saja. Kepada mereka yang pernah ke luar daerah, saya mengajak untuk
membandingkan. Mana lebih sejahtera (paling tidak dari indicator ekonomi,
karena kesejahteraan batin tentu saja sulit diobservasi) masyarakat di Bali,
atau di provinsi lain, misalnya saja NTT atau NTB? Kalau mereka setuju bahwa Bali lebih baik,
maka pertanyaan dilanjutkan: apa itu karena pariwisata, atau sector lain? Atau,
bagi mereka yang belum pernah ke luar Bali, pertanyaan seirama saya tanyakan:
Mana lebih sejahtera, warga Kabupaten Badung atau kabupaten lainnya di Bali,
katakanlah misalnya Karangasem, Bangli, atau Buleleng? Desa Pakraman di mana
yang lebih banyak mendapatkan bantuan pemkab, yang di Badung atau di kabupaten
lainnya? Mana lebih bagus prasarana pedesaan untuk rakyat, yang di Badung atau
di kabupaten lainnya? Kalau jawabnya
Badung, maka perlu ditanyakan lanjutannya: apakah itu karena kemajuan sector A,
B, C, D, ataukah karena pariwisata?
Ternyata,
paling tidak sampai saat ini, saya belum pernah bertemu dengan teman bicara
yang tidak memberikan jawaban afirmatif.
Artinya, mereka setuju bahwa sector pariwisata sudah berperan besar
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perbaikan infrastruktur pedesaan,
pembinaan lembaga adat-keagamaan, pembinaan kesenian/kebudayaan,
pengembangan sumderdaya insani, dan sebagainya, mendapatkan kontribusi besar
dari pariwisata.
Bahwa
Pariwisata tidak mampu menyelesaikan semua masalah, pasti ya. Sama juga halnya,
tidak ada satu sector apapun dalam pembangunan ini yang mampu menuntaskan semua
masalah. Artinya, kurang bijak kalau
setiap permasalahan yang ada ditudingkan kepada pariwisata. Logika
sederhananya, kalau semua permasalahan bisa ditangani oleh satu sector, tentu
sector lain tidak perlu ada. Dan ini tentu merupakan suatu kemustahilan.
Dengan
pemahaman sederhana seperti ini, mudah-mudahan tidak banyak lagi pengamat yang
meminta agar Bali berhenti membangun pariwisata (sementara banyak Negara dan
daerah lain berlomba-lomba memacu pembangunan pariwisatanya). Lebih jauh, semoga difahami bahwa berbagai
prasarana yang ada (atau akan dibangun) tidak semata-mata diperuntukkan
pariwisata, melainkan juga untuk masyarakat warga Bali. Maka, semoga tidak semua pembangunan sarana
dan prasarana yang akan memajukan pariwisata selalu ditanggapi dengan kata-kata
pemutus yang singkat: Tolak! Tidak! Jangan! Hentikan! Stop!
Saatnya
kita berfikir jernih. Kritis. Termasuk
kritis kepada mereka yang kritis.
(I
Gde Pitana Brahmananda)
Selamat dan sukses
BalasHapus