tag:blogger.com,1999:blog-59400927340091760712024-03-05T05:35:43.104-08:00Bali TribuneHarian Bali Tribune adalah media di Bali yang mengusung sikap kritis, obyektif dan independen. Untuk berlangganan, pemasangan iklan atu pun informasi peliputan silahkan hubgi kantor di Jl Wahidin, denpasarHARIAN BALI Tribunehttp://www.blogger.com/profile/07654036683218245795noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-5940092734009176071.post-52458711694444479452012-01-30T19:34:00.000-08:002012-01-30T20:15:20.126-08:00Pariwisata dan Sinisme itu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibo0ksV4iqVeAGoun-URuJNtp1g8F4KVkPU4kb_S6ObKW7FwEFCyqQ8MPQjlVQxPZ1VkKLy39iekNArcBv3DoEoFD9faAl2gmkrDiG2FkX8BjtB_6DPzAV-K3naExCt3PKbsTlJNWG5d0/s1600/pitana.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibo0ksV4iqVeAGoun-URuJNtp1g8F4KVkPU4kb_S6ObKW7FwEFCyqQ8MPQjlVQxPZ1VkKLy39iekNArcBv3DoEoFD9faAl2gmkrDiG2FkX8BjtB_6DPzAV-K3naExCt3PKbsTlJNWG5d0/s200/pitana.jpeg" width="163" /></a></div>
BUKAN
sekali dua kali saya mendapat pertanyaan sinis dan retorik dari para pengamat.
Beberapa kali pula muncul pertanyaan sama di media masa, yang intinya
mempertanyakan manfaat pariwisata bagi Bali.
Beberapa pengamat sampai pada suatu pendapat, bahwa sudah saatnya Bali
memikirkan untuk meninggalkan pariwisata.
Karena, menurut mereka, pariwisata terbukti tidak mampu menyejahterakan
rakyat Bali. Walaupun pariwisata maju,
tetap saja di Bali ada kemiskinan.<br />
<a name='more'></a><br />
Walaupun dolar berlimpah, tetap saja ada warga Bali yang kelaparan. Tetap saja banyak pengangguran. Tetap saja banyak anak putus sekolah. Dan
seterusnya, dan seterusnya. Pertanyaan
dan pernyataan seperti ini selalu
berulang, setiap ada rencana
pembangunan prasarana yang akan bermanfaat mendukung pariwisata. Walaupun,
semua orang tahu, bahwa berbagai prasarana tersebut tidak khusus dibangun untuk
pariwisata, karena masyarakat Bali sendiri juga akan memanfaatkannya. Bahkan lebih dari pariwisata.
<br />
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
<br /></div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
Sebenarnya
saya tidak mood mengomentari komentar para pengamat. Saya ingat, sekali waktu
saya dinasehati oleh Prof Dr Arief Rachman, tokoh demonstran angkatan 66, yang
sekarang menjadi ketua Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO. Katanya, kalau yang bicara itu ‘pakar’ atau
‘ahli’ dalam bidangnya, maka kita harus memperhatikan dan menindaklanjuti. Pastilah apa yang disampaikannya sudah
berdasarkan data, fakta, analisis, interpretasi, dan dasar-dasar teori yang
memadai. Tetapi kalau ‘pengamat’ yang
berkomentar, sebaiknya kita tidak terlalu banyak menghabiskan energy untuk
memikirkannya. Cukup didengarkan
saja. Cukup diketahui, bahwa ada orang
yang berpendapat seperti itu. Apalagi dalam era sekarang ini, banyak
bermunculan “pengamat serba bisa”, “pengamat segala rupa” atau, dalam bahasa
Bali, mungkin dapat disebut sebagai “pengamat dagang ceraki”. Mereka bisa menjadi pengamat apa saja. Kemarin menjadi pengamat transportasi. Kemarinnya lagi dia adalah pengamat
pilkada. Hari ini sebagai pengamat harga
cabai keriting. Di lain waktu menjadi pengamat pariwisata, pengamat pendidikan,
sekaligus pengamat spiritual. Besok, entah menjadi pengamat apa lagi.</div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
<br /></div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
Tetapi,
sebagai orang yang belajar pariwisata, saya mempunyai kewajiban untuk ikut
menyampaikan fakta dan kebenaran, tanpa harus mengajari. Maka, dalam berbagai
kesempatan, saya juga menggugah teman bicara untuk berfikir kritis, walaupun
secara sederhana, terhadap usulan beberapa orang agar Bali meninggalkan
pariwisata. Ketika ngerumpi dengan warga
sambil matulung dalam acara adat-keagamaan di banjar, saat ngobrol dengan para
pemangku sebelum persembahyangan di pura dimulai, manakala duduk-duduk di warung
kopi, dalam berbagai kesempatan santai dan informal, dalam chatting di milist
(yahoo group) atau FB, saya kerap memposting pertanyaan untuk direnungkan. Dalam percakapan sejenis itu, tentu saya
tidak mau berteori tingi-tinggi atau mengajukan data statistic, sebagaimana
biasa saya lakukan kalau memberikan seminar atau memberi kuliah S3.</div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
<br /></div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
Sederhana
saja. Kepada mereka yang pernah ke luar daerah, saya mengajak untuk
membandingkan. Mana lebih sejahtera (paling tidak dari indicator ekonomi,
karena kesejahteraan batin tentu saja sulit diobservasi) masyarakat di Bali,
atau di provinsi lain, misalnya saja NTT atau NTB? Kalau mereka setuju bahwa Bali lebih baik,
maka pertanyaan dilanjutkan: apa itu karena pariwisata, atau sector lain? Atau,
bagi mereka yang belum pernah ke luar Bali, pertanyaan seirama saya tanyakan:
Mana lebih sejahtera, warga Kabupaten Badung atau kabupaten lainnya di Bali,
katakanlah misalnya Karangasem, Bangli, atau Buleleng? Desa Pakraman di mana
yang lebih banyak mendapatkan bantuan pemkab, yang di Badung atau di kabupaten
lainnya? Mana lebih bagus prasarana pedesaan untuk rakyat, yang di Badung atau
di kabupaten lainnya? Kalau jawabnya
Badung, maka perlu ditanyakan lanjutannya: apakah itu karena kemajuan sector A,
B, C, D, ataukah karena pariwisata?</div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
<br /></div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
Ternyata,
paling tidak sampai saat ini, saya belum pernah bertemu dengan teman bicara
yang tidak memberikan jawaban afirmatif.
Artinya, mereka setuju bahwa sector pariwisata sudah berperan besar
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perbaikan infrastruktur pedesaan,
pembinaan lembaga adat-keagamaan, pembinaan kesenian/kebudayaan,
pengembangan sumderdaya insani, dan sebagainya, mendapatkan kontribusi besar
dari pariwisata.</div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
<br /></div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
Bahwa
Pariwisata tidak mampu menyelesaikan semua masalah, pasti ya. Sama juga halnya,
tidak ada satu sector apapun dalam pembangunan ini yang mampu menuntaskan semua
masalah. Artinya, kurang bijak kalau
setiap permasalahan yang ada ditudingkan kepada pariwisata. Logika
sederhananya, kalau semua permasalahan bisa ditangani oleh satu sector, tentu
sector lain tidak perlu ada. Dan ini tentu merupakan suatu kemustahilan.</div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
<br /></div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
Dengan
pemahaman sederhana seperti ini, mudah-mudahan tidak banyak lagi pengamat yang
meminta agar Bali berhenti membangun pariwisata (sementara banyak Negara dan
daerah lain berlomba-lomba memacu pembangunan pariwisatanya). Lebih jauh, semoga difahami bahwa berbagai
prasarana yang ada (atau akan dibangun) tidak semata-mata diperuntukkan
pariwisata, melainkan juga untuk masyarakat warga Bali. Maka, semoga tidak semua pembangunan sarana
dan prasarana yang akan memajukan pariwisata selalu ditanggapi dengan kata-kata
pemutus yang singkat: Tolak! Tidak! Jangan! Hentikan! Stop!</div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
<br /></div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
Saatnya
kita berfikir jernih. Kritis. Termasuk
kritis kepada mereka yang kritis.</div>
<div class="yiv1400600035MsoNormal" style="line-height: 15.0pt;">
(I
Gde Pitana Brahmananda)</div>
<div>
<br /></div>HARIAN BALI Tribunehttp://www.blogger.com/profile/07654036683218245795noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5940092734009176071.post-77916240158411448852012-01-30T17:23:00.000-08:002012-01-30T19:36:57.640-08:00Voodoo dan Bali<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg15SU-jmeo4ZHuFoG93sDI4Hyj2ELREKbFm7YcmYdhRnWEwVw4s1QeEt6xJ3YR5qH954lDvdsOMWWJ5CmOoOaysx2WPkClcqe7wdWviCXoqaf1v1vzv7qkmVbnvq52-cpv7x5u6suxhNU/s1600/Tan+Lio+Ie.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg15SU-jmeo4ZHuFoG93sDI4Hyj2ELREKbFm7YcmYdhRnWEwVw4s1QeEt6xJ3YR5qH954lDvdsOMWWJ5CmOoOaysx2WPkClcqe7wdWviCXoqaf1v1vzv7qkmVbnvq52-cpv7x5u6suxhNU/s200/Tan+Lio+Ie.jpg" width="200" /></a></div>
<b>Beberapa</b> tahun lalu, sebagai penyair saya diundang mengikuti “tour
sastra” oleh winternachten festival (sekarang writers unlimited),
Belanda ke Suriname bersama beberapa penulis dari negara lain. Di
Suriname mitra dari winternachten saat itu adaah kelompok penulis SS76.<br />
Dari Denpasar, saya menuju Amsterdam dan menginap di sana, sebelum
kemudian dari sana terbang menuju Pramaribo, ibu kopta Suriname.
Suriname, negeri Tropis yang berbatasan dengan Guyana Perancis, Guyana
Inggris dan Brasil, dengan penduduk sekitar 400 ribu di mana separuhnya
tinggal di Paramaribo.<br />
<a name='more'></a><br />
Keesokan harinya, agenda kami adalah
“City tour” di dampi9ngi seorang pemandu wisata serta seorang penulis
yang juga jurnalis dari kelompok SS76. Tour tersebut adalah berjalan
kaki menyusuri jalanan Paramaribo. Sepanjang, tour tsb, sang emandu
bercerita tentang hal-hal yang dianggapnya penting, seperti menjelaskan
tentang pohon Tamarin (pohon Asam). Terlintas dipikiran saya, rupanya
Belanda yang pernah menjajah Suriname, juga kita, gemar menanam pohon
Asam, seperti sebagian di antaranya masih dapat dilihat di ruas jalan
Gajahmada Denpasar.<br />
Kami juga diajak ke rumah seorang tokoh
Suriname, rumah kayu seperti mayoritas bangunan di Paramaribo. Bahkan
hotel temmpat kami menginap pun, the Echo, mayoritas berbahan kayu.
Bahan kayu memang tepat untuk Suriname yang beriklim Tropis. Ini
menginagtkan saya pada banyak bangunan lama di Denpasar yang juga
menggunakan bahan kayu secara cukup signifikan.<br />
Ketika
melitas di dekat “perkampungan” orang Lebanon, si pemandu mengatakan
orang Lebanon di “perkampungan itu” beragama Roma Katolik, saya
teringat, di negara asalnya jika mereka Nasrani, umumnya Kristen Maronit
seperti Sastrawan terkenal Kahlil Gibran, bukan Roma Katolik. Bersama
dengan warga India, Tionghoa(umumnya dari suku Hakka), Kulit Hitam, Jawa
dan Indian, mereka hidup harmonis. Bahkan umat Islam di sana, di
“kampun Jawa” tidak bertikai karena kiblat uyang berbeda, ada yang ke
timur ada yang ke barat (Yang ke barat mungkin meneruskan tradisi
moyangnya di Jawa, sementara yang ke timur, tampaknya berdasarkan letak
geografis Suriname). Jika ada sedikit benturan, terjadinya hanya pada
saat pemilu. Tapi setelahnya rukun lagi. Rupanya urusan kekuasaan,
memang bisa membawa perselisihan, seperti juga di negeri kita.<br />
Yang juga menarik perhatian adalah jumlah Casino di Paramaribo yang
relative banyak, sekitar 20 Casino. Konon (ini tentu bukian dari si
pemandu wisata dan Jurnalis tadi), Casino yang banyak itu adalah tempat
untuk “mencuci uang”. Di Suriname, pengangguran tinggi, secara statistik
(namun umumnya penduduknya punyab uang), karena sebagian dari mereka
tak mungkin mencantumkan pekerjaannya, yang secara Yuridis formal
illegal, sebab menyangkut perdagangan narkoba. Ini sebabnya perlu tempat
cuci uang.<br />
Akhirnya kamin tiba di sebuah toko oleh-oleh,
yaiytu toko peralatan Voodoo. Ada peti mati kecil, guna-guna, boneka
voodoo…, serta jimat untuk menang berjudi di Casino. Mendengar dan
melihat jimat tersebut saya berbisik ke rekan penulis dari kelompok SS76
yang mendampingi kami : “Jika benar jimat untuk menang berjudi di casino
itu bertuah, mestinya si pemilik toko tak usah repot-repot berjualan
alat voodoo. Cukup berbekal jimat itu (dan sejumlah uang tentunya) dia
bisa kaya dengan berjudi di casino yang tersebar di Paramaribo, bukan?” .
Sontak saat itu saya teringat banyak teman yang juga masih percaya pada
hal-hal semacam itu. (Tan Lioe Ie, penyair-pemusik)HARIAN BALI Tribunehttp://www.blogger.com/profile/07654036683218245795noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5940092734009176071.post-7993242590453342362012-01-30T15:57:00.000-08:002012-01-30T19:37:13.938-08:00Rahasia Pis Bolong<link href="file:///C:%5CUsers%5Chasan%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5Chasan%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5Chasan%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link>
<m:smallfrac m:val="off">
<m:dispdef>
<m:lmargin m:val="0">
<m:rmargin m:val="0">
<m:defjc m:val="centerGroup">
<m:wrapindent m:val="1440">
<m:intlim m:val="subSup">
<m:narylim m:val="undOvr">
</m:narylim></m:intlim>
</m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal">
Cahaya Wirawan Hadi</div>
<div class="MsoNormal">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHBeGO94zKrHJP8PEQi4nRI0-H5eyaRZYGPhxqevLR4NhJhoVEqLmMSb8V7j1No6Qizmdoo3lzm648cVZp4k8H_a9HsdBP7jHMSFVDlWM5_SmVH9TzHlW2UATa_vLg_UsTtmWQm0IRs80/s1600/INTI-+Cahaya+Wirawan+Hadi+blog.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHBeGO94zKrHJP8PEQi4nRI0-H5eyaRZYGPhxqevLR4NhJhoVEqLmMSb8V7j1No6Qizmdoo3lzm648cVZp4k8H_a9HsdBP7jHMSFVDlWM5_SmVH9TzHlW2UATa_vLg_UsTtmWQm0IRs80/s200/INTI-+Cahaya+Wirawan+Hadi+blog.jpg" width="175" /></a></div>
Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Bali</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sebagai orang Tionghoa yang tinggal di Bali, sejak lama saya
penasaran untuk mengetahui, mengapa<i> pis
bolong </i>digunakan dalam berbagai upacara disini. Saya tanya teman-teman yang
asli Bali dan beragama Hindu ternyata banyak juga diantara mereka yang tidak
tahu. Sampai akhirnya saya mendapat penjelasan dari Tjokorda Anom dari
Klungkung yang sedikit membuka rahasia.</div>
<a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal">
Pis bolong konon muncul dari kisah cinta Raja Jayapangus dan
putri Kang Cing Wie. Ketika sang Raja hendak meminang sang putri , salah satu
ritual yang harus dilakukan adalah memberikan penghormatan kepada orang tua
sang putri. Saat itu untuk perjalanan
dari Bali ke China dengan menggunakan
perahu setidaknya adalah selama 6 bulan. Untuk menggantikannya, Raja kemudian
menjadikan uang Cina saat itu sebagai
sarana penghormatan.</div>
<div class="MsoNormal">
Dari kisah Kang Cing Wie, ada tradisi lain yang diwariskan.
Yakni upacara memotong gigi. Konon sebelum raja Jayapangus akan menikah, para
penasehat istana merasa kurang elok melihat wajah raja yang berhiaskan dengan gigi taring. Karena itu,
gigi kemudian dirapikan dengan meratakannya. </div>
<div class="MsoNormal">
Saya tidak tahu kebenaran cerita ini. Tapi pesan yang tersirat adalah, hubungan antara warga Tionghoa
dengan warga Bali sudah sedemikian eratnya. Bahkan ada sebutan <i>Nyama Kelihan</i> atau saudara yang lebih
tua untuk warga keturunan. Apalagi orang seperti saya yang kulitnya saja lebih
dekat ke warna coklat. Nenek buyut saya pun dibesarkan di Puri Karangasem.</div>
<div class="MsoNormal">
Kedekatan ini yang ingin kita pertahankan sampai anak cucu hingga buyut
sekali pun. Karena itu melalui organisasi INTI Bali, kami melakukan berbagai
aksi sosial untuk ikut menolong masyarakat Bali yang masih mengalami kesulitan
hidup. Kalau sudah di INTI, kami tidak lagi memandang bos atau anak buah. Semua
bekerja bersama-sama.</div>
<div class="MsoNormal">
Situasi sekarang ini jauh lebih memungkinkan. Di masa lalu,
warga Tionghoa harus menyembunyikan identitas adat dan budayanya. Setelah
tragedi 1965, banyak sekali pembatasan sehingga untuk merayakan Imlek saja
tidak diperbolehkan. Kami tidak boleh belajar bahasa Tionghoa dan menampilkan
tari Barongsai. Saat itu Kongco bahkan
harus ditutup. Kalau rusak tidak boleh diperbaiki. Untuk menjaganya banyak yang
dialihkan menjadi vihara Budha</div>
<div class="MsoNormal">
Sejak Gus Dur dan kemudian dipertegas oleh Ibu Megawati,
perayaan Imlek sudah menjadi agenda bangsa dan ditetapkan jadi hari libur
nasional. Ini sebenarnya wajar saja
karena di Indonesia, jumlah warga Tionghoa mungkin sudah mencapai sekitar 15 juta
orang. Saat ini menjadi saat yang tepat
untuk menegaskan kebersamaan dalam kebhinekaan. <b>ran</b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>HARIAN BALI Tribunehttp://www.blogger.com/profile/07654036683218245795noreply@blogger.com0